Tumbal
- Macia Hauna
- Jan 16, 2017
- 6 min read

Ini bukan takdir. Ini merupakan jalan yang telah kau pilih. Bukan salahku, jika aku terus mendatangimu. aku hanya menuntut apa yang sudah kau janjikan dengan memberi apa yang kau inginkan. Adil bukan. sekarang saatnya kau membalas. Seperti perjanjian awal kita. Waktumu hampir habis.Ingat, aku tidak suka menunggu, kau tahu kan apa akibatnya jika membuatku menunggu?Bersegerahlah, sebelum aku murka.Karna kau akan menyesalinya jika itu terjadi. Dan yang paling penting, jangan lupa apa yang kuinginkan. Aku inginkan tumbal.
***
“Bapak!bapak!” seorang remaja perempuan menjerit histeris. Melihat jasad yang pagi ini sampai di rumahnya. Beberapa tetangga menahan tubuhnya yang meronta ronta memaksa ingin melihat jasad bapaknya. “Lepaskan, aku ingin lihat bapak!” teriaknya lagi. Bukannya para tetangga bermaksud jahat dengan menahannya. Mereka hanya membantunya terhindar dari pemandangan yang mengerikan. Andai saja dia tahu, jasad itu kini tak lagi berbentuk. Tubuh bapaknya hancur lebur. Daging dan tulang tak lagi berbentuk, seluruh isi perut keluar tak tertahan. Belum lagi, katanya, kepalanya pecah, terbelah. Bahkan, hampir terputus dari tubuhnya. Mengerikan.
Seorang wanita, yang mulai tua termakan usia hanya duduk dipojokan ruangan. Pungungnya bungkuk, seperti tengah menanggung beban. Menatap kosong setiap orang yang ramai berlalu-lalang dirumahnya. Wanita itu tak lain adalah ibu remaja perempuan sekaligus istri dari korban. Entah apa yang ada dipikirannya, sampai-sampai hanya terdiam dipojokan melihat situasi yang terjadi. Untungnya, masih tersisa satu anak lelakinya yang masih waras, yang dengan sigap menyuruh para pembopong bungkusan kafan tak berbentuk itu, untuk meletakkannya di atas dipan yang sudah disediakan. Menyambut para tamu sekalian memberikan buku yasinan.
Selain kedatangan para kerabat dan tetangga dekat, sesosok makhluk tengah ikut meramaikan hari itu, iaberada tepat dibelakang sang istri. Menatap nyinyir ke tengah ruangan. Sudahku bilang, jangan membuatku murka.
***
Seminggu sebelum kejadian.
“Permisi.”
Seorang wanita tergopoh menuju pintu depan, sesaat setelah mendengar suara yang tidak asing dikupingnya. “Ehh, pak Andi. Ada apa pagi-pagi begini sudah mampir kerumah?” wanita itu tidak lain adalah seorang janda miskin beranak satu yang telah lama di tinggal mati suaminya.
“Boleh saya masuk bu?” balas pak Andi
“Oh iya, tentu tentu silahkan pak.” Pak Andi berjalan masuk setelah dipersilakan. Duduk di kursi rotan. Menatap sekeliling ruangan. Ruangan sempit, yang bahkan jika dibandingakan dengan kamar mandi rumahnya memiliki ukuran yang lebih besar. Pak Andi mengangguk samar. Sepertinya, dia tidak akan salah sasaran, pikirnya.
“Saya ambilkan minum dulu ya pak”
“Ohh, tidak usah repot-repot. Saya hanya mampir sebentar. Silahkan duduk saja bu.” Wanita itu duduk. Menatap lelaki di depannya. Bertanya-tanya apakah gerangan yang membawa juragan kaya ini datang ke rumah lusuhnya.
“Saya dengar Eli sedang sakit?”
“Ahh, itu, iya betul. Badannya panas tidak turun-turun. Harus dibawa ke rumah sakit di kota. Tapi yah begitulah sampai sekarang belum ada biaya untuk berangkat.” Pak Andi mengangguk, memasang tampang prihatin. “Besok pagi, saya akan berangkat ke kota untuk mengantar hasil panen, kalau mau, saya bisa bawa Eli untuk diantar sekalian kerumah sakit disana.”
“Benarkah?! Syukurlah kalo begitu. Saya akan segera menyiapkan kebutuhan Eli, agar besok pagi bisa langsung berangkat.” Jawab ibu Eli, tanpa rasa curiga.
“Baiklah kalo begitu. Besok pagi saya akan menjeputnya. Kami akan berangkat jam lima pagi. Tapi, sepertinya hanya Eli saja yang bisa ikut. Karna kami hanya akan membawa mobil pick up untuk membawa hasil panen”
“Tak apa pak Andi. Eli anak yang mandiri, membawanya ke kota secara cuma-cuma pun saya sudah bersyukur sekali. Terimakasih pak Andi, anda baik sekali…” hampir-hampir wanita itu mengucurkan air matanya, merasa lega sekaligus berterimakasih. Eli, anak perempuan satu-satunya tengah sakit dan tak kunjung sembuh. Tabib kampung menyarankan agar membawanya ke rumah sakit kota untuk diperiksa lebih lanjut.Tanpa ada rasa curiga, ibu Eli mengijinkan anaknya pergi bersama orang paling kaya di kampungnya. Dengan harapan, penyakit anaknya akan segera membaik.
Eli, yang tak sengaja mendengar percakapan dari kamarnya, tiba-tiba memiliki perasaan tak enak. Ada rasa takut membayangkan dirinya pergi bersama orang yang tak dikenalnya. Dan setahunya, pak Andi bukanlah orang yang terkenal dengan kebaikannya.
***
Eli terduduk di bangku mobil sambil menahan sakit dikepalanya. Perjalan menuju kota bukanlah waktu yang sebentar. Belum lagi, bukannya segera ke rumah sakit pak Andi memilih ke pasar terlebih dahulu untuk mengantarkan hasil panen. Yah, memang sudah nasibnya menumpang. Masa iya urusannya yang akan di dahulukan.
Usai segala urusan di pasar. Pak andi masuk kedalam mobil bersama supirnya. Eli lega, akhirnya dia bisa segera menuju ke rumah sakit. Pusing di kepalanya semakin menjadi, Eli menutup matanya, berharap dapat meringankan rasa sakit. Tanpa sadar Eli jatuh tertidur.
***
Sekujur tubuhnya bermandikan keringat. Badannya gemetar menahan rasa takut. Dimana ini? hatinya terus saja bertanya-tanya. Ruangan ini pengap, dengan bohlam temaram di tengah ruangan yang membuat beberapa tempat tak terlihat olehnya. Semerbak bau kemenyan memenuhi ruangan. Ini dimana? Eli begitu ketakutan. Dia ingin sekali beranjak dari sini menuju pintu di depannya. Tapi entah kenapa, tubuhnya tak mampu bergerak. Dia menatap sekeliling ruangan. Dan tatapannya kini jatuh pada sosok di sudut sana. Sosok itu seperti sedang menatapinya. Eli takut, dia benar-benar takut. Jantungnya berdebar ketika melihat sosok itu tiba-tiba merangkak. Mendekatinya. Eli ingin menjerit, tapi hanya kekosongan yang keluar dari mulutnya. Sosok ituterus merangkak mendekat, mendekat hingga temaram lampu sedikit memperlihatkannya.Tiba-tiba, lampu padam. Semua menjadi gelap gulita. Dan rasanya, sosok itu tengah berada tepat di depan mukanya. Menghembuskan nafasnya yang berbau busuk. Tolong. Jeritnya dalam hati.
***
“Hahh, hahh, hahh.” Nafas Eli terenggah-enggah. Bagaimana mungkin sekarang diaberada di ruang kamarnya, di rumah. Eli meraba-raba badannya. Apakah ini hanya mimpi? Tidak. Rasanya terlalu nyata jika dia menyebutnya sebagai mimpi.
“Eli, nak, ayo bangun.”
“Ada apa bu?”
“Kamu harus ke kota lagi bersaman pak Andi. Kata dokter kamu harus di periksa lebih lanjut.”
“Memang Eli kenapa Bu?”
“Haduh..sudah jangan banyak tanya. Kalo kata dokter di kota begitu ya harus begitu nak. Biar kamua cepat sembuh ya.” Eli diam, bingung bagaimana mau memberontak pada ibunya, dia tidak tahu harus bilang apa, dia takut dan karena sebenarnya, Eli sama sekali tidak ingat bahwa mereka pergi ke rumah sakit. Kapan dia bertemu dokter?Apa yang sebenarnya terjadi kemarin?
***
Tiga hari berlalu, Eli tak kunjung sembuh, dan entah mengapa makin hari kondisinya semakin buruk. Pak Andi bilang Eli terkena tipus, jadi kondisi badannya akan semakin menurun. Ibu Eli hanya mengangguk. Tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia hanya bisa menatap Eli, yang setiap pulang dari kota terbujur lemas dengan badan berkeringat. Bahkan, akhir-akhir ini Eli sering mengigau dalam tidurnya, meminta tolong.
Hari masih gelap ketika ibu Eli sedang menyapu halaman. Hatinya kini kian resah menatap anak semata wayangnya terbujur lemas tak bisa bangun dari kasur karena sakitnya. Hari ini pak Andi tidak akandatang, kata beliau nanti lusa dia akan membawa Eli ke rumah sakit lagi, sesuai jadwal dokter. Begitu katanya.
“Ini apa?” dia bertanya pada diri sendiri, berjongkok menatap benda yang tersapu olehnya. Sejumput beras kuning, setelah dia sadari, beras kuning ini berceceran di beberapa bagian di halaman rumahnya sejak dua hari yang lalu. Darimana asalnya?Ibu Eli bertanya dalam hati.
Belum sempat memikirkan lebih jauh tentang beras kuning, “AAAAKH!!!”suara nyaring itu memekakan telinganya.Memecah keheningan subuh. Ibu Eli terkejut, lari secepat mungkin menuju kamar anak gadisnya. Tempat asal suara. “Astaga!!” bukan main Ibu Eli terkejut, satu langkah kakinya mundur, badan mendadak lemas menatap pemandangan di depannya. Kini Eli tengah duduk di atas kasurnya, dengan kedua tangan yang meremas erat seprei di kasur. Badanya bergetar, bermandikan peluh. Hidungnya mengeluarkan darah segar yang menodai bajunya. Matanya yang melotot seperti hendak keluar dari tempatnya, Eli terus saja menatap dinding kamar. Tidak mengindahkan kehadiran ibunya. Tanpa pikir panjang, ibu Eli mendekati anaknya yang terlihat begitu mengenaskan. Dalam hati terus bertanya, apa yang sedang terjadi, sakit apa sebenarnya Eli ini.
Dengan paksa dia membopong Eli di pundaknya. Terjatuh. Terselungkup di lantai. Badan Eli yang kurus kini terasa begitu berat. Ibu Eli menatap anaknya, yang terus saja memandang ke dinding yang sama. Dengan segenap kekuatan, dia ulangi lagi, membopong Eli di pundaknya. Meskipun berat, dia paksakan. Ibu Eli lalu berlari keluar rumah, dengan kaki telanjang. Berlari membelah jalan batu khas perkampungan. Langit terlihat agak terang, ketika dia sampai di depan rumah tabib kampung.
“Permisi! permisi!”tidak butuh waktu lama untuk melihat tabib membukakan pintu rumahnya. Tabib terkejut menatap ibu Eli yang dengan nafas tersenggal begitu memelas menatapnya, tapi, dia lebih terkejut lagi melihat dua orang yang sedang di bopong ibu Eli. Tanpa banyak bertanya, tabib menyuruh ibu Eli masuk, mengajaknya ke tempat biasa dia mengobati pasien.
Tabib membantu ibu Eli menurunkan Eli dari pundaknya, membaringkan Eli di atas tikar. Tanpa ditanya, ibu Eli menceritakan semuanya, sambil menangis dia memohon agar anaknya di sembuhkan. Tabib mengangguk, memahami situasi.
“Apakah terdapat sejumput beras kuning disekitar halaman rumah?”
“Bagaimana tabib bisa tahu?” mendengar jawaban ibu Eli, tabib menghela nafas berat. Sepertinya, dugaannya benar. Kini, dia tengah menatap Eli. Nafasnya berat terputus-putus, disebabkan oleh sosok yang menibaninya.
Ibu Eli menangis tersedu-sedu, setelah mendengar penjelasan dari tabib. Dia terus saja memeluk Eli yang nafasnya semakin tersenggal. Dia mengutuk dirinya yang menyebabkan Eli seperti ini. Bagaimana mungkin, dia begitu bodoh tidak mencurigai orang yang dengan senang hati ingin menolongnya, tanpa meminta apapun. Kini dia tahu maksud pertolongan itu.
“Nasi sudah menjadi bubur, tidak ada lagi yang bisa kita lakukan, satu-satunya pertolongan yang bisa dilakukan hanyalah menyelamatkan jiwa Eli, bukan nyawa Eli.”
***
Tiga hari setelah kematian Eli, terdengar kabar bahwa pak Andi mengalami kecelakaan yang begitu dahsyat. Badannya hancur lebur. Hampir-hampir tidak ada yang mengenalinya, menurut berita, malam sebelum kecelakaan pak Andi seperti orang yang sedang dikejar-kejar setan. Terus saja berteriak, pergi, pergi. Kan sudah kuberi apa yang kau mau, pergi!Tidak ada yang mengerti apa maksud dan kepada siapa kalimat itu di tunjukan, puncaknya, malam-malam dengan penuh ketakutan pak Andi pergi membawa mobilnya, entah kemana. Paginya, tersampaikan kabar bahwa pak Andi mengalami kecelakaan, dari hasil penyelidikan, sepertinya pak Andi bertabrakan dengan truk, yang sampai sekarang tak kunjung di temukan.
Kini, menurut kabar dari tetangganya, istri pak Andi kerap kali menjerti-jerit minta tolong.
***
Sudah kubilang, jangan membuatku murka. Sampai habis keturunanmu, aku akan meminta balasan. Lihat saja. Memang enak, sekarang jiwa mu telah menjadi budakku. Jiwa-jiwa keturunanmu juga akan menyusul nasibmu. Jangan pernah bermain-main denganku. Karena aku tidak pernah meminta hal dengan bermain-main. Sekali kau terjebak. Selamnya kau takakan pernah lepas. Jadi, masih mau bermain-main denganku?
Comentários